11 February 2012

Jurus Makelar Alutsista 'Taklukkan' Skema G to G

Pesawat F-16 (IST)

Beberapa tahun belakangan ini, dalam pengadaan alutsista di institusi TNI selalu mengedepankan skema Goverment to Goverment (G to G). Skema ini dianggap lebih ideal dalam pengadaan alutsista dari luar negeri karena dianggap lebih ekonomis dan efisien.

Sebelumnya, pembelian peralatan perang di lingkungan TNI lebih banyak melibatkan agen alutsista atau broker sebagai perantara untuk mendatangkan barang yang diinginkan. Akibatnya, ekonomi biaya tinggi selalu muncul dalam setiap pengadaan barang yang dibutuhkan militer di negeri ini.

Buntutnya, tak sedikit uang negara menguap karena peran broker yang bermain di sektor ini. Apalagi sudah bisa dipastikan dalam setiap transaksi yang terjadi, juga diikuti dengan mark up harga produk dengan nilai sangat tinggi.

Dalam pengadaan Tank Scorpion di era Presiden Soeharto misalnya, ketika itu militer Indonesia membeli 100 tank baru dari Inggris. Lalu belakangan diketahui, keterlibatan broker senjata telah menjadikan harga 1 unit Scorpion dimark up hingga 150 persen.

Tak ingin hal ini kembali terulang, maka sejak beberapa waktu lalu dimulailah model pengadaan alutsista dari luar negeri lewat skema G to G. Setelah kebijakan ini dilaksanakan, para broker senjata pun tiarap karena tak ada lagi ruang bagi mereka untuk mendapatkan fulus dalam jumlah fantastis.

Tapi menurut sumber INTELIJEN, seperti kata pepatah, “maling selalu lebih pintar dari polisi”, para broker pun lalu mencari cara agar uang instant dalam jumlah besar masih saja menghampiri dirinya. Bila di masa lalu mereka mengandalkan mark up besar-besaran saat pembelian barang, maka kini mereka “alih profesi”, yakni bermain di wilayah pengadaan suku cadang dan perawatan sebuah alat perang.

Namun demikian, agar keuntungan yang diperoleh besarnya bisa disejajarkan seperti saat menjadi broker dalam pengadaan mesin perang, maka mereka harus bermain dalam partai besar. Alhasil, pengadaan suku cadang dan perawatan alutsista dalam jumlah sangat besar adalah sesuatu yang didambakan.

Anehnya, keinginan para broker ini seolah mendapatkan jalan terang, ketika pemerintah justru lebih sering mendatangkan mesin perang bekas atau seken dalam jumlah besar. Ketika mesin perang ini datang ke Indonesia, maka para broker ini akan segera mendapatkan pekerjaan yang selama ini diicar dan didambakan.

Bisa dibayangkan pekerjaan apa saja yang akan mereka laksanakan ketika 24 pesawat F16 bekas dari AS tiba di Indonesia. Begitu pula bila 100 Tank Leopard bekas jadi datang ke negeri ini, dan banyak lagi mesin perang bekas lainnya.

Ketika alat tempur bekas ini datang, maka harus segera dilakukan banyak penyesuaian. Otomatis, para makelar alutsista masih bisa mendapatkan uang instant dan dalam jumlah besar, seperti halnya ketika mereka masih menekuni keahlian lama sebagai broker dalam pengadaan alutsista.

Masih menurut sumber itu, berbeda halnya dengan pengadaan mesin perang baru, karena untuk beberapa tahun ke depan alusista ini masih dalam garansi pembuatnya, baik dalam perawatan ataupun suku cadang. Ketika keadaan ini terjadi, maka tak ada cerita bagi para broker itu untuk mendapatkan uang instant dalam jumlah besar.

Karena itulah, dalam setiap pengadaan mesin perang dengan status baru, sesungguhnya bisa disebut ‘bencana’ bagi pengusaha alutsista ini. Pasalnya, untuk beberapa tahun ke depan, mereka kelimpungan kehilangan peluang mendapatkan penghasilan dalam jumlah besar.(Achsin)

Source : Itoday , Intelijen

0 comments:

Post a Comment