Menanggapi hal tersebut, pakar militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani menyatakan, pemerintah harus memberikan dukungan penuh kepada pengembangan industri pertahanan. Sebab, pengembangan industri pertahanan ini merupakan langkah terobosan dan strategis.
"Pengembangan industri pertahanan harus diapresiasi dan diperhatikan khusus. Ini terobosan positif dalam menjawab kebutuhan alutsista," katanya. Jaleswari menerangkan, pengembangan industri pertahanan tidak bisa diperlakukan sama dengan industri non-pertahanan. "Pasarnya sangat segmented. Karena itu harus menjadi prioritas pemerintah," katanya.
Dia melanjutkan, produksi dan keberhasilan industri pertahanan tidak bisa dalam jangka pendek. "Ini investasi jangka panjang. Karena industri ini menyedot anggaran yang sangat besar," katanya. Atas dasar itulah, Jaleswari menerangkan, Kemhan membuat RUU Revitalisasi Industri Pertahanan. "Alutsista yang bisa diproduksi di dalam negeri, dan TNI wajib menggunakan industri dalam negeri. Ini untuk menghindari kredit ekspor, suku bunga tinggi dan pengembalian cepat. Industri ini sangat tepat. Revitalisasi merupakan solusi. Selama ini kan selalu berwacana saja soal pengembangan industri pertahanan," katanya.
Dia mengemukakan, revitalisasi industri pertahanan mengalami kebuntuan sejak 1997. Saat itu, akibat tekanan IMF, industri pertahanan tidak boleh dibiayai APBN. "Itulah awal pengerdilan terhadap industri pertahanan," katanya.
Dengan adanya revitalisasi industri pertahanan dengan merealisasikan pengembangan dan pembangunan industri pertahanan, kata Jaleswari, merupakan jawaban jitu terhadap keluhan anggaran. Jaleswari menerangkan, sebenarnya industri pertahanan mulai menggeliat di era Presiden Habibie. "Habibie mencoba menumbuhkan itu, dan sempat membuat khawatir banyak negara. Setelah era itu, pemerintah selalu berwacana tentang pembangunan industri militer," katanya.
Senada dengan itu, anggota Komisi I DPR (bidang pertahanan) Sidarto Danusubroto mendukung sepenuhnya upaya pengembangan industri strategis nasional untuk memperkuat alutsista TNI. Menurutnya, kebijakan pertahanan nasional harus diubah terutama soal impor kebutuhan alutsista TNI yang memakan anggaran sangat besar. "Kredit ekspor alutsista itu harus dikurangi, terlalu mahal. Sudah waktunya sistem alutsista nasional diperkuat sehingga kebutuhan TNI dapat disuplai dari dalam negeri," tandasnya.
"Pengembangan industri pertahanan harus diapresiasi dan diperhatikan khusus. Ini terobosan positif dalam menjawab kebutuhan alutsista," katanya. Jaleswari menerangkan, pengembangan industri pertahanan tidak bisa diperlakukan sama dengan industri non-pertahanan. "Pasarnya sangat segmented. Karena itu harus menjadi prioritas pemerintah," katanya.
Dia melanjutkan, produksi dan keberhasilan industri pertahanan tidak bisa dalam jangka pendek. "Ini investasi jangka panjang. Karena industri ini menyedot anggaran yang sangat besar," katanya. Atas dasar itulah, Jaleswari menerangkan, Kemhan membuat RUU Revitalisasi Industri Pertahanan. "Alutsista yang bisa diproduksi di dalam negeri, dan TNI wajib menggunakan industri dalam negeri. Ini untuk menghindari kredit ekspor, suku bunga tinggi dan pengembalian cepat. Industri ini sangat tepat. Revitalisasi merupakan solusi. Selama ini kan selalu berwacana saja soal pengembangan industri pertahanan," katanya.
Dia mengemukakan, revitalisasi industri pertahanan mengalami kebuntuan sejak 1997. Saat itu, akibat tekanan IMF, industri pertahanan tidak boleh dibiayai APBN. "Itulah awal pengerdilan terhadap industri pertahanan," katanya.
Dengan adanya revitalisasi industri pertahanan dengan merealisasikan pengembangan dan pembangunan industri pertahanan, kata Jaleswari, merupakan jawaban jitu terhadap keluhan anggaran. Jaleswari menerangkan, sebenarnya industri pertahanan mulai menggeliat di era Presiden Habibie. "Habibie mencoba menumbuhkan itu, dan sempat membuat khawatir banyak negara. Setelah era itu, pemerintah selalu berwacana tentang pembangunan industri militer," katanya.
Senada dengan itu, anggota Komisi I DPR (bidang pertahanan) Sidarto Danusubroto mendukung sepenuhnya upaya pengembangan industri strategis nasional untuk memperkuat alutsista TNI. Menurutnya, kebijakan pertahanan nasional harus diubah terutama soal impor kebutuhan alutsista TNI yang memakan anggaran sangat besar. "Kredit ekspor alutsista itu harus dikurangi, terlalu mahal. Sudah waktunya sistem alutsista nasional diperkuat sehingga kebutuhan TNI dapat disuplai dari dalam negeri," tandasnya.
DPR, tegasnya, mendukung sepenuhnya konsep penguatan sistem alutsista nasional tersebut. Dari hasil evaluasi dan peninjauan langsung ke lapangan, Sidarto menyaksikan sistem pertahanan negara terutama di daerah perbatasan, sangat lemah.
Jangka Panjang
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Propatria Institute T Hari Prihatono mengutarakan, banyak yang harus dilakukan dalam rangka membangun industri pertahanan. Bukan hanya membutuhkan kemauan, tapi juga komitmen, integritas, konsistensi, serta siap dengan konsekuensi pilihan yang harus ditanggung.
"Ada banyak yang harus dilakukan. Persoalannya, apakah cetak biru kebijakan pertahanan tersebut mengarah ke sana. Tidak bisa kebijakan dalam periode satu pemerintahan saja karena butuh jangka panjang. Oleh karenanya, harus dikawal," ujarnya, Rabu (22/12).
Selain itu, sambungnya, harus ditinjau ulang keberadaan industri hulu dan hilir apakah sudah cukup untuk menopang. Apabila material pendukungnya masih diimpor maka biaya yang ditanggung akan lebih mahal.
Mengenai industri dasar pendukung, sambungnya, itu juga terkait dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Dalam hal ini, industri pertahanan yang membutuhkan bahan mentahnya. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi.
Jangka Panjang
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Propatria Institute T Hari Prihatono mengutarakan, banyak yang harus dilakukan dalam rangka membangun industri pertahanan. Bukan hanya membutuhkan kemauan, tapi juga komitmen, integritas, konsistensi, serta siap dengan konsekuensi pilihan yang harus ditanggung.
"Ada banyak yang harus dilakukan. Persoalannya, apakah cetak biru kebijakan pertahanan tersebut mengarah ke sana. Tidak bisa kebijakan dalam periode satu pemerintahan saja karena butuh jangka panjang. Oleh karenanya, harus dikawal," ujarnya, Rabu (22/12).
Selain itu, sambungnya, harus ditinjau ulang keberadaan industri hulu dan hilir apakah sudah cukup untuk menopang. Apabila material pendukungnya masih diimpor maka biaya yang ditanggung akan lebih mahal.
Mengenai industri dasar pendukung, sambungnya, itu juga terkait dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Dalam hal ini, industri pertahanan yang membutuhkan bahan mentahnya. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi.
Source : alutsista.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment